Sabtu, 03 Desember 2011

PENDIDIKAN AKHLAQ YANG BERKARAKTER DAN MENYENANGKAN



Selorejo mojowarno, al-khalifaNews. Tingginya angka kenakalan dan kurangnya sikap sopan santun anak didik, dipandang sebagai akibat dari buruknya sistem pendidikan saat ini. Hal itu ditambah lagi dengan masih minimnya perhatian guru terhadap pendidikan dan perkembangan karakter anak didik.

Selain itu, perkembangan teknologi internet yang massif, bisa berdampak buruk jika tak ada upaya efektif untuk menangkalnya.

"Untuk itu, saya memandang pendidikan yang berkarakter dan berbudaya harus segera diterapkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Selain guru, orang tua juga punya kewajiban menerapkan pendidikan tersebut. Bahkan, orang tua merupakan kunci melindungi anak dari dampak buruk perkembangan teknologi.

Padahal, ujar dia, bangsa Indonesia dulu sangat memegang teguh sopan santun. "Ironis jika saat ini bangsa Indonesia tak berpijak pada nilai-nilai budaya dalam bertindak atau bahkan tak memiliki karakter yang kuat. Untuk itu, pembinaan pada generasi muda menjadi hal yang urgen dilakukan saat ini.
penulis mengingatkan bahwa pendidikan nasional hendaknya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. "Karena itu, sistemnya harus saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk pula upaya serius dari pihak pemangku kebijakan pendidikan nasional," lanjutnya.

Memang saat ini, sudah ada Undang-undang yang mengatur agar pendidian karakter diterapkan di masing-masing sekolah. "Namun pelaksanaannya sangat tergantung dari kualitas SDM pendidik dan tenaga kependidikan. Sayangnya, banyak SDM pendidik yang belum berlatar belakang pendidikan. Ini sungguh ironis. Mau mengembangkan pendidikan, tetapi tutornya bukan dari kependidikan," sebutnya.

menuturkan bahwa kelebihan dan kekuatan seseorang jika tak disertai karakter yang baik, akan menjadi kekurangan dan kelemahan yang berdampak dua kali lebih besar daripada kelebihan dan kekuatan orang itu. "Oleh karena itu, pendidikan saat ini dan akan datang perlu ada sinergi antara hard skills dan soft skills," katanya.

Kompetensi lulusan yang dihasilkan, ujar dia, harus mampu berpikir secara analitis dan logis, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni, bisa bekerja mandiri, serta berkomunikasi lisan secara lancar. "Paling tidak, setiap siswa mulai membiasakan mengumpulkan energi positif setiap hari dengan pendampingan dari guru dan orang tua,.  (sholichul arif, S.Pd.I.)

Apapun istilah atau propaganda yang tanpa mereka sadari ikuti, modernisasi agama, fundamentalis agama, pemabaharuan agama, ijtihad baru, persatuan dalam negara atau nasionalisme menggantikan persatuan dalam agama, taat pada penguasa negara yang mereka katakan ulil amri dll.
Semua itu bagi saya, semata-mata propaganda orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap kaum mukmin sebagaimana Allah berfirman yang artinya,
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Sebagai contoh, akibat “modernisasi agama”, pendidikan agama telah mengalami pendangkalan tujuan, menjadi sekedar pengetahuan/pelajaran/pengajaran agama. Berbeda jauh dengan apa yang disebut dahulu sebagai “pondok” atau “mondok” atau “berguru”.
Sehingga sekarang kita dapati sebagian umat muslim semata-mata menjalankan sholat berdasarkan “pengetahuan” dan menurut pemahaman mereka bahwa mereka sudah “menyelesaikan” kewajibannya. Tampak masih jauh dari makna mendirikan sholat apalagi makna mi’raj seorang muslim.
Begitu pula yang mengikuti pendidikan tinggi agama baik di dalam negeri maupun di luar negeri sampai ketempat yang menggunakan bahasa arab, baik tingkat S1, S2, S3 dengan title LC,DR,PROF dll. Pendapat saya, mereka mendapatkan sekedar pengetahuan atau mendapatkan pengajaran agama. Sama sekali bukan “pendidikan” agama sebagaimana dahulu dikenal dengan kegiatan “pondok” , “mondok” atau “berguru”.
Memang mereka yang mengikuti “pondok”,”mondok” dan “berguru” tidak mendapatkan title, namun mereka mendapatkan “didikan” sehingga mereka Insyaallah sampai pada tingkatan Ihsan (muhsin), menyembah kepada Allah seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka. Guru mereka membantu, membimbing, mendidik , menhantarkan mereka menuju kepada Allah, membuat mereka dapat mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, untuk “bertemu” Allah atau”terhubung” (wushul) dengan Allah. Sehingga mereka adalah sebenar-benarnya “bersaksi” atau “penyaksi” (syahid).
Setelah murid dapat “bertemu” Allah atau “terhubung”(wushul) dengan Allah,  Allah yang akan memimpin murid, mengajarkan,  membimbing dan mewariskan ilmu. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).   Diriwayatkan pula dalam suatu kabar, “Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang telah diketahui maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui“.
Insyaallah mereka yang telah “bersaksi” atau menjadi “penyaksi” (syahid) akan menjemput kematian (kembali kepada Allah) dengan husnul khotimah dan mati syahid (mati dalam keadaan bersaksi) sebagaimana mereka diciptakan Allah pada awal mula kejadian (ketika dalam alam kandungan).

Pada awal mulai kejadian, sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Ketika mereka “kembali”, sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).
Sungguh, para pembaca , kalau umat muslim dapat sebenar-benarnya bersaksi, tidak akan terpecah, tidak akan berdebat, tidak akan mencaci, tidak akan menghujat, tidak akan mengolok-olok, tidak akan mensesatkan saudara muslimnya, tidak akan mengkafirkan sesama muslim, tidak akan memperturutkan hawa nafsunya, tidak akan sombong.
Jika sebenar-benarnya bersaksi, insyaallah kita akan tersungkur sujud dan mengatakan sebenar-benarnya perkataan , “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.

“Ya Allah, berikanlah kemudahan untuk menyampaikan kepada saudara-saudara muslimku agar mereka tidak menyia-nyiakan kehidupan mereka di dunia, agar mereka dapat berbekal bagi kehidupan akhirat dengan sebaik-baiknya bekal”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar